Hari ini aku pulang telat lagi, lebih telat dari hari sebelumnya. Biasanya mentok jam 8 malam udah keluar kantor, lah tadi ini kok molor sampe jam 10-an. Untung aku diusir dari kantor oleh bajigul satu ini.
Padahal gak ada lagi yang penting untuk dilakukan di kantor, karena pekerjaan merubah layout SuperiorPics sudah selesai, proses generate HTML juga sudah komplit semua. Tapi keinginan untuk ngeklik fitur-fitur di CMS MovableType blog ini tak kunjung reda. Malah sempat mbenahi beberapa layout yang jelek. Kalo anda perhatikan, ada yang berubah dari blog ini. Memang masih jelek, tapi tidak sejelek blog ini. *loh*
Dalam perjalanan pulang, aku sempatkan beli makan di warung Padang di depan Kampus Paska Sarjana UNIBRAW. Seperti biasa, nasi 1 lauk 2.
Ketika sudah nenteng sebungkus nasi dan nyalakan mesin Tiger, mendadak ada cowok yang mendekati aku. Rambutnya gondrong, pake jaket ketat, tapi wajahnya culun
Dia nanya "mas, tujuannya ke mana?"
"Ke Joyogrand" jawabku, sambil mengetrapkan aji waspada.
"Saya mau ikut mbonceng, dari perempatan itu ke kiri", dia nunjuk ke perempatan Dinoyo, sambil mengangkat helm di tangannya.
"Memangnya mas kenapa?"
"Motor saya baru dibawa polisi, ..."
Pengalaman kerasnya kehidupan di Malang (hah? mosok sih?) dan informasi dari berbagai pihak, memaksaku untuk meyakinkan bahwa keadaan baik-baik saja.
"Masnya mau ke mana?" aku bertanya sambil matikan mesin motor.
"Ke Dempo mas, di Galunggung"
"Wah, jauh itu mas. Aku antar sampai jalur angkot AL saja ya" aku mengelak, ngetes aja sih, karena emang gak seberapa jauh. AL gak lewat Galunggung.
"Itu lho mas, perempatan ke kiri, aku turun di Bandulan"
Dempo <> Galunggung <> Bandulan
Dia kelihatan bingung, bener-bener bingung. Bingung mau omong apa lagi, dan bingung dengan keinginannya.
"Sebenere mas tinggal di mana?" desakku.
"Di Sawahan mas" jawabnya lirih.
Waw, tambah jauh, di tengah kota. Jelas banget dia gak menguasai area Malang. Orang baru datang di Malang kayaknya. Plus kejadian yang baru saja menimpanya. Gugup. Kasian banget deh melihatnya.
"Yang daerah kampus itu lho mas" mencoba menerangkan.
Phew, ada puluhan kampus di Malang, mas. Pikirku. Tapi karena dia bilang Dempo, cuma ada 1 kampus di daerah situ.
"Ayo, aku antarkan, tapi sampe kampus Widya Gama saja ya, kan sudah deket tuh ke Dempo" kataku menghentikan tanya jawab.
Aku boncengkan dia melewati Dinoyo, menuju Galunggung. Tapi tidak begitu jauh setelah melewati perempatan, dia nunjuk ke sebuah warnet, "saya turun di situ aja mas"
Aku turunkan dia di situ. "Lho, kok di sini?"
"Iya, nunggu temen, nanti saya telpon dia saja"
Kenapa gak dari tadi, pikirku.
"Bener gak apa-apa turun di sini? ayo aku antarkan" aku menawarkan.
"Ndak mas, nanti masnya kemalaman"
"Yang buat telpon ada gak?"
Dia meraba saku belakang celananya, "ada mas"
"Ok, aku tinggal"
"Ya mas, makasih"
Aku lalu neruskan perjalanan pulang, lewat Sardo. Jalur ini memang yang seharunya aku lewati, meskipun tidak mengantar si orang tadi.
Ketika hendak melewati jembatan menuju Joyogrand, aku lihat seorang tua berjalan kaki sendiri, sambil pegang helm. Melihat arahnya, dia bakal menuju Joyogrand pula.
Aku berhenti di dekatnya "Badhe ten pundhi pak?" (mau ke mana pak?)
"Mrono" (ke sana) sambil nunjuk ke depan, jalan terus tanpa melihat ke aku.
"Mboten nderek kulo?" (ndak ikut saya?)
"Gak" jawabnya singkat padat jelas keras.
Ya udah, aku teruskan perjalananku. Padahal untuk masuk ke Joyogrand masih sekitar 2 kiloan lagi, gelap, sepi dan jalan menanjak. Juga angker *aarrrrggh*
Dari dua kejadian singkat yang baru saja terjadi tadi, ada 2 fenomena yang dapat aku tarik.
Orang Semakin Tidak Percaya Dengan Kesulitan Orang Lain
Saat dimintai bantuan orang lain, banyak sekali kecurigaan dan pertimbangan yang hinggap di kepala kita.
Seandainya aku tidak banyak bertanya pada mas yang gondrong tadi, mungkin dia bakal enjoy aku antarkan sampai ke Dempo.
Contoh lain, saat ada pengemis datang ke aku, gak selamanya hati ini tergerak untuk memberi.
Dalam satu saat aku bisa dengan ikhlas dan senang untung ngasih, tapi kadang kalo lihat ada pengemis yang masih bergas, sehat, hati ini berat banget buat ngasih. Hal ini karena aku sering melihat orang tua, yang dengan tertatih-tatih berjalan di panasnya matahari, menarik karung berisi sampah, untuk dijual buat sekedar mengisi perut. Jadi kalo melihat yang masih relatif muda dan sehat kok meminta-minta, gak sreg aja.
Tapi perlu diingat, itu adalah pandangan dari sisiku. Kalau mau imbang, aku mencoba membayangkan bahwa aku yang berada di posisi mereka, dengan berbagai kesulitan yang pernah dan sedang dihadapi.
Atau ketika aku melihat petugas pengumpul amal jariyah, baik itu dari masjid atau dari panti asuhan. Yang terpikirkan di otak adalah, apakah ini benar petugas dari instansi itu, atau jangan-jangan itu adalah petugas palsu, yang uangnya untuk dirinya sendiri.
Memang repot, karena kemungkinan seperti itu memanglah ada. Dan kalau aku ngasih uang ke petugas palsu itu, sama saja aku menghidupinya.
Padahal seharusnya tidak demikian. Palsu ataupun tidak, kalau memang aku berniat menyalurkan harta di jalan Alloh, tidak ada salahnya aku ngasih. Kecuali memang benar-benar terbukti diapetugas palsu. Hajar saja.
Menurutku, Alloh telah mengirimkan petugas itu ke aku, jadi aku berusaha sebaik mungkin untuk menyikapinya.
Orang Semakin Tidak Percaya Dengan Bantuan Orang Lain
Ini juga repot, meskipun toh tidak ada ruginya bagi yang menawarkan bantuan.
Bapak tua tadi mungkin beranggapan, bahwa tawaranku untuk membonceng dia, dapat menimbulkan masalah baginya. Padahal, seandainya bapak tadi tau, aku sudah beberapa kali memboncengkan orang yang akan menuju Joyogrand dengan berjalan kaki. Tentunya yang sendirian.
Dulu sewaktu aku masih aktif di SCeN, saat aku dan teman-teman masih senang mengajar ilmu jaringan komputer, pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan.
Salah seorang anggota club kita, Wawan, berniat memberikan pengajaran ilmu jaringan komputer ke SMU-nya, di kota Batu. Lalu dirancanglah jadwal, materi, dan pengajarnya.
Di hari yang ditentukan, kita datang berombongan menggunakan kendaraan dan akomodasi sendiri. Pihak sekolah hanya menyediakan ruangan dan waktu.
Meski begitu, tanggapan pihak sekolah tidak semanis yang kita kira. Rupanya mereka curiga kita ada maksud terselubung di balik pengajaran itu. Bahkan saat berpamitan, ucapan terima kasih hanya muncul dari bibir, bukan dari hati.
Bertindak waspada itu boleh, bahkan harus. Tapi bertindak bijak akan jauh lebih bermanfaat.
Semua ada yang mengatur, dan kitapun diberi otak serta hati untuk bertindak.
Keep trying, dan jadilah manusia seutuhnya.
Komentar Terbaru