« Salah Kawitan | Depan | Ludruk Kartolo CS »

Pasar vs Supermarket

Judulnya gak konsisten, satu pake bahasa Indonesia dan satunya inggris.
Intinya, pasar tradisional vs pasar swalayan.

Hal ini sudah terlalu banyak dan terlalu sering dibahas, jadi agak-agak basbang gitulah.
Aku juga gak pingin membahas. Bukan karena aku tidak sensitif lingkungan, tapi karena ... ah, gak pingin aja. Sampai sekarang ini baru pingin. *ah, mbulet*

Kemaren aku pulang kampung ke Demak, untuk nyekar kakek nenek, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan.
Menjelang puasa hari pertama, aku diminta mengantar ibu belanja ke pasar, yeah, sekalian aku rencana potong rambut, biar (tambah) cakep.

Pertama kita ke pasar tradisional, membeli bahan-bahan untuk kolak manis dan ikan tongkol untuk digoreng pedas. (wew, ngetik ini pas puasa, sama beratnya dengan membacanya pas puasa, xixixixi...).

Selanjutnya ibu mengajak aku ke pasar swalayan. Setauku dulu cuma ada satu swalayan di Demak. Tapi rupanya aku kurang info, karena ternyata ada beberapa lagi yang sudah beroperasi. Bank BCA aja gak bernyali untuk masuk (bahkan sekedar ATM BCA-pun gak ada), tapi swalayan sudah mendahuluinya.
Yah, gak begitu besar sih, tapi cukup signifikan untuk diperbandingkan dengan pasar tradisional.

Kecenderungan masyarakat untuk berbelanja di swalayan juga lebih tinggi, entah itu karena kelengkapan, kemudahan, kenyamanan, atau sekedar gengsi. Tetapi yang jelas bukan karena faktor harga, yang pastinya lebih mahal dari yang di pasar tradisional.

Kalo aku amati, berikut ini perbandingannya:

Pasar TradisionalPasar Swalayan
Bisa (dan harus) ada tawar menawarHarga fix
Bagi sebagian orang yang gak bisa (atau malas) melakukan penawaran (seperti aku), cenderung lebih memilih yang fix. Namun untuk sebagian yang lain (seperti kakakku), lebih memilih yang bisa ditawar.

Lingkungan cenderung buruk, panas, kotor, uyel-uyelan, rawan copetLebih nyaman, rapi, gak ada preman (belum pernah ketemu sih)
Meski harganya lebih mahal, tapi berbanding lurus dengan kenyamanan yang diperoleh

Harga relatif lebih murahHarga lebih mahal
Justru lebih mahal ini, memancing sifat gengsi masyarakat kita. Hmm, gak semua sih, tapi pasti ada kan?
Tapi ada juga kasus, di mana barang yang dibeli di swalayan harganya lebih murah dari yang di luar, bahkan dengan barang yang lebih bagus. Misalnya durian. *uh, pengalaman buruk*

Harga fluktuatifHarga relatif stabil
Misalnya ada kasus tertentu, contohnya lebaran, harga di swalayan lebih terkontrol, tidak urakan seperti di pasar tradisional, yang tahun kemaren ada barang yang mencapai kenaikan 100%

Biasanya alasan persaingan yang tidak sehat adalah yang menjadi jeritan para pedagang kecil di pasar tradisional. Karena para pengusaha swalayan mampu mengeluarkan modal lebih banyak untuk kenyamanan dan menekan harga, makanya mampu mengancam posisi pasar tradisional.

Tapi menurutku itu tidak sepenuhnya benar. Kalo misalnya orang bisa ber-rekreasi di swalayan, kenapa orang tidak bisa rekreasi di pasar tradisional?
Jadi buat supaya kondisi pasar itu nyaman.

Kalo pasar swalayan mampu menekan harga, bukankah pasar tradisional lebih mampu menekannya, karena sejak awal dia adalah penjual untuk kelas menengah ke bawah.
Jadi bikin agar harganya gak urakan.

Caranya gimana?
Entahlah, aku juga gak tau. Itu masalah yang komplek sekali. Banyak pihak terkait di dalamnya.

Berikut ini beberapa skrinsut:

Pasar tradisional

Pasar 1
Pasar 2


Pasar Swalayan

Supermarket 1
Supermarket 2

TrackBack

TrackBack URL for this entry:
http://mahesajenar.com/git/movabletype/mt-tb.cgi/39

Ada 22 komentar

Jauhari pada September 25, 2006 3:15 PM menulis:

Jadi Pilih mana mas?
Gimana dengan Kebersihan? Kualitas? dan list list yang lain?

Balas Komentar Ini
Aryo Sanjaya pada September 25, 2006 3:41 PM menulis:

#jauhari:
Aku cenderung memilih yang swalayan, ke pasar tradisional hanya untuk kondisi tertentu saja.

Kebersihan dan kualitas, sudah include dalam list yang kedua, kayaknya sih :D

Balas Komentar Ini
vnuzday pada September 25, 2006 8:19 PM menulis:

Masa demak sudah ada Supermarket.. Palingan juga minimarket.

*Nyungsep sebelum ditabrak tiger*

Balas Komentar Ini
isdah pada September 25, 2006 8:31 PM menulis:

huehehehehe... bener masa' seeh ada supermarket di demak??? a te em aja gag ada...

Balas Komentar Ini
Aryo Sanjaya pada September 26, 2006 9:23 AM menulis:

#venus & isdah:
Jangankan kalian, aku aja gak percaya ;))

#isdah:
ATM ada, cuman Bank Danamon

Balas Komentar Ini
hendra-k pada September 26, 2006 12:45 PM menulis:

wahh masih mendingan kampung gw donk kalo getoo (Rengasdenklok - karawang).. udah ada alfamart,indomart,ATM BCA,ATM BNI, dll. Malah katanya nanti disana mao dibikin mol satu lageh.

Balas Komentar Ini
iRene pada September 26, 2006 2:03 PM menulis:

eMmm koQ foto supermarketnya mirip ma indomaret di jakarTa yah.. jangan2 itu foto mini market bukannya supermarket yah? hehehe
*senyum2*

Balas Komentar Ini
jaylangkung pada September 26, 2006 10:06 PM menulis:

masak sih om gak ada a te em di Demak?? bener2 udik ya..
*diantem panci ngales... eit.. gak kenek..

Balas Komentar Ini
Aryo Sanjaya pada September 27, 2006 7:52 AM menulis:

#hendra:
Justru lebih mending kampungku, tenang, damai, nyaman dan ... ah, tak terkatakan.
*ahlesyan*

#irene:
Lha emang itu bukan foto supermarket kok. Sesuai judul di atas fotonya itu, swalayan.
AlfaMart kan juga swalayan ;;)
Kalo supermarket sih banyak, mulai dari super panas, super jorok, dan super ruwet.

#jay:
Dikandani ono ATM kok, cuman Danamon.
Itu juga cuman ATM, gak ada banknya (kalo gak salah).
Kebanyakan bank tau, kalo di Demak anti riba, jadi percuma bikin bank di Demak.
(mungkin bank tau kalo kita lebih suka nyelengi uang di bawah bantal)

Balas Komentar Ini
Junkerz side B pada October 1, 2006 12:42 PM menulis:

lebih baik belanja di pasar tradisional, perputaran duitnya lebih real dan 'kena' ke masyarakat kelas menengah-bawah...dibandingkan ke supermarket...
*siap2 ke careefour..*

Balas Komentar Ini
Aryo Sanjaya pada October 2, 2006 10:16 AM menulis:

#engkoh:
Masing-masing penjual punya pangsa pasar sendiri.
Kalo dulu ada penjual arang untuk strika, dan kini orang banyak pake strika listrik, toh penjualnya bisa berevolusi untuk berdagang yang lain.
Pergeseran kultur sosial, selalu ada seleksi dan adaptasi pada alam sekitar.
*kok jadi serius juga*
*careefour baru mau dibangun di Malang, baru pondasinya dibuat di lapangan Rampal*

Balas Komentar Ini
ucit pada October 9, 2006 12:56 PM menulis:

mas...ibuk sampean sing endi...?? sing difoto baju putih diswalayan iku tah??? nyambung ra????

Balas Komentar Ini
Aryo Sanjaya pada October 10, 2006 10:32 AM menulis:

#ucit:
Iyo, bener.

Balas Komentar Ini
Anita pada November 2, 2006 12:31 AM menulis:

mending blnj di swalayan lbh waktu yg dihabiskan relatif lbh cpt, plus nyaman!

Aryo: Ya, itulah salah satu penyebab berkembangnya swalayan di negara kita. Tapi masih banyak alasan lain untuk kita tetap belanja di pasar tradisional, misalnya untuk bernostalgia *halah*

Balas Komentar Ini
Dee pada March 1, 2007 9:37 AM menulis:

Bukan bernostalgia tapi bernostal-gila.
Mas Ario punya pengalaman pribadi yang 'mengesankan' di pasar tradisional ya? Aku juga ada, bukan mengesankan tapi mengesalkan. Orang-orang pasar tradisional (esp. cowok2) omongan & tindakannya 'tidak bisa dikendalikan'. Semacam 'pelecehan' terhadap perempuan. >:P

Aryo:
Lho, jadi Dian pernah dilecehkan?
Mau juga dong >:)

Balas Komentar Ini
eskotak pada May 19, 2007 11:58 PM menulis:

kalo emang burger lebih enak dari pecel ya ngapain maksain makan pecel... (tapi pecel tetep lebih enak dari burger), klo enakan blanja di swalayan ya blanja aja ke swalayan ngapain ke pasar... (tapi tetep pasar lebih sensasional)... tapi ngapain juga aku komentar wong di tengah pasar deket rumah ku ada swalayan...

Aryo:
lha iya, ... ngapain komentar?
saat tertentu aku pingin makan burger, ya makan burger, tanpa bilang burger tetep lebih enak daripada pecel, karena suatu saat aku pingin makan pecel, ya makan pecel, tanpa bilang pecel tetep lebih enak daripada burger, karena suatu saat aku pingin makan burger, ya makan burger, tanpa... ah, sudahlah.

Balas Komentar Ini
hamzah pada June 6, 2007 8:43 PM menulis:

alhamdullilah...dah da orang yang mau mikir nasib demak!

Balas Komentar Ini
dian pada May 8, 2009 7:05 PM menulis:

mbak / mas maksh udh ngasih informasinya ttg pasar
lam knl
sy hnylah siswi kls 9 yg berharapnilai Unas sy jd yg terbaik dan bwd org tua bangga
wish me luck!!!! O:)

Balas Komentar Ini
ihsan pada August 15, 2009 11:27 PM menulis:

jika 3 tahun yang lalu dipermasalahkan adalah supermarket dengan pasar tradisional. saat ini yang jadi masalah adalah saudara kecil supermarket yaitu minimarket yang hendak menggusur toko2 kelontong.

Balas Komentar Ini
ib pada November 10, 2009 9:35 AM menulis:

pasar swalayan dan tradisional semuanya sama ja,, menghasilkan duit, disukai masyarakat, sama-sama pasar, tapi yang bedakan adalah kerapian dan kenyamanan dan tawar_menawar dll.

Balas Komentar Ini
michelle pada May 13, 2011 9:48 PM menulis:

koment nya banyak banget L-)

Balas Komentar Ini
farrel pada July 29, 2011 7:28 PM menulis:

pasarrrrrrrrrrrrrrrrrr swalayan

Balas Komentar Ini

Isi Komentar




  Isi Smiley


Pencarian

Komentar Terbaru

December 2021

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
      1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31  

Kategori

Arsip

Aryo Sanjaya

Tinggalkan Pesan

Kisah Mahesa Jenar

Kisah dari Tanah Jawa, tentang perjalanan diri Mahesa Jenar.
Download:
Naga Sasra & Sabuk Inten
atau di sini:
download dari SaveFile.com
Theme by: Magic Paper
Didukung oleh
Movable Type 6.3.10


Aryo Sanjaya

Sindikasi