Pahala dan Dosa

Posted by Aryo Sanjaya, 5 Jul 2010

Secara tidak sadar, kadang kita merasa ibadah yang telah kita lakukan sudah cukup untuk mendapatkan surga. Atau lebih jauh lagi, ibadah yang telah kita lakukan cukup untuk membayar dosa-dosa yang pernah terjadi.

Hal ini wajar, sebab selama ini kita selalu mendapatkan gambaran mengenai timbangan amal (Al Mizan) antara pahala dan dosa. Sejak kecil kita sudah dibekali dengan cerita, bahwa di akhirat nanti akan ada timbangan yang mengukur jumlah pahala dan dosa. Jika lebih banyak pahala maka surga, jika lebih banyak dosa maka masuk neraka.

Al Mizan memang harus diyakini ada (Al A'raaf: 8-9), dan tidak ada yang salah dengan penggambaran tersebut. Hanya saja kadang persepsi kita yang keliru menerapkannya, sehingga dampak yang terjadi adalah ketika melakukan suatu kebajikan, kita langsung membayangkan saldo pahala kita bertambah. Demikian pula saat melakukan dosa, saldo dosa ditambah.

Sejalan dengan itu, kita, yang tanpa membekali catatan diri berisi 'mutasi transaksi' pahala dan dosa, mengukur sendiri mana yang lebih banyak antara pahala dan dosa.

Mengukur diri sendiri memang harus, muhasabah diri, introspeksi. Jika benar-benar menelaah diri sendiri, pastilah didapat banyak kesalahan yang harus diperbaiki, dibandingkan membanggakan amalan yang telah dicapai.

Yang lebih parah adalah, ketika mengingat bahwa sudah lama tidak melakukan dosa, ditambah dengan sholat 5 kali sehari dikalikan jumlah hari selama hidup ke depan (padahal tidak tau kapan matinya), kadang menimbulkan pemikiran bahwa surga telah terbeli dengan ibadah tersebut.

Padahal surga bukan ditentukan oleh amalan kita, tapi 'hadiah' dari Alloh untuk hamba yang dikehendakiNya.

Seperti yang pernah diceritakan di sini, bahwa seseorang telah bangga dengan amalannya tapi tetap masuk neraka.

Kebingungan dimulai di sini, yakni ketika seseorang bertanya: "ya percuma dong kita ibadah, toh tetep aja ditentukan oleh kehendakNya"

Terinspirasi oleh ceramah Ustadz Abu Sangkan, dapat dicontohkan seperti ini:

Misalnya ada anak kecil, disuruh oleh orangtuanya untuk membersihkan rumah. Tentu orang tuanya tidak menentukan seluruh rumah harus bersih mengkilat, karena dia tau anak kecilnya tidak mungkin mampu melakukan itu.

Yang diminta oleh orang tuanya adalah anak kecil itu menjalankan perintahnya dengan patuh.

Bahkan misalnya ketika si kecil saat menyapu menyenggol gelas dan pecah, orang tua pasti akan maklum dan hanya tersenyum. (Mungkin hanya orang tua yang punya anak kecil yang bisa memahami perasaan ini)

Dan ketika tiba pemberian upah, yakin upah tersebut tidak ditentukan oleh hasil kerja si kecil, melainkan rasa senang orang tua karena anaknya mematuhinya.

Demikianlah, seandainya kita mendapatkan surga, yakin surga tersebut tidak ditentukan oleh ibadah kita, melainkan karena kepatuhan kita, sehingga mendapatkan rahmatNya berupa surga. Dan salah satu bentuk kepatuhan adalah dengan menjalankan segala perintahNya.

Mari kita berlomba menggapai rahmatNya.


Filed in

8 Comments

setuju, sebuah pencerahan yang bermanfaat

tulisanya bagus cuma klo boleh usul bahasany sederhana saja supaya lebih meyakinkn..

nah itu, sedang belajar untuk bisa menulis sederhana :)

Begitu ya ?, wew..masih ada peluang neh

betul sekali tapi yang perlu ditekankan disini arti dari ibadah itu sendiri. ibadah asal katanyakan dari abdi, atau mengabdi sama saja dengan mematuhi.
kita sebagai hamba dan Allah sebagai Raja, sudah sepantasnya kita menuruti apa yang diperintahkan.

Sekarang qta memang harus menyadari dan mulai menghitung berapa banyak amal dan dosa yang telah qta perbuat....

makasi pencerahan....

"kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali" Maryam 33.

Mkch..jd tambah wawasan.perasaan aq jarang2 bikin dosa.he he he