Perjalanan Mudik

Posted by Aryo Sanjaya, 23 Oct 2006

Berangkat mudik sebenarnya direncanakan jam 7 pagi. Tapi saat kita sedang makan sahur bersama, si Wamir nyeletuk "gimana kalo berangkatnya setelah sahur saja?". Ya, ide bagus. Selain karena jalanan yang masih sepi, juga akan menghemat waktu, dibandingkan jika harus tidur lagi setelah shubuh.

Aku berbenah dengan cepat, masukkan 2 baju + 4 kaos + 2 celana + laptop + etc ke tas ransel, dan setelah shubuh, kita bertiga mulai berangkat. Aku dibonceng si Wamir pakai motorku, dan Yuyun naik motornya sendiri. Sekitar jam 4 lebih seperempat kita sudah keluar perumahan Joyogrand.

Jalanan yang lengang memang melancarkan perjalanan, tapi kewaspadaan justru harus lebih meningkat. Terbukti, setelah melewati terminal Landungsari, memasuki daerah Pendem, ada sepeda motor yang tiba-tiba keluar dari sebuah gang, beberapa meter di depan kita, dan langsung nyebrang jalan. Kita yang sedang melaju kencang, tentu saja kelabakan dengan kejutan itu. Terutama si Yuyun yang ada di posisi depan, nyaris saja. Untung dia lahir di sepeda motor, jadi bisa menguasai laju motornya, dan bisa melewati si orang ngawur itu.
Mungkin orang itu masih ngantuk.

Berangkat pagi juga berarti harus siap menjadi pembuka jalan. Saat melewati kawasan Pujon dan Ngantang, jalanan masih ditutupi embun pagi, yang membuat jalanan basah dan kayaknya licin. Terutana karena jalanan yang mirip huruf S, kadang-kadang huruf Z, atau kadang juga mirip angka 8. Ngeri juga dibonceng sama Wamir di jalan itu. Setiap dia miringkan sepeda untuk belok di tikungan tajam, otomatis aku menyeimbangkan diri, berlawanan dengan arah miringnya. Ini hal yang berbahaya sebenarnya, seharusnya aku ikut saja arah gerakannya. Tapi namanya juga takut, jadi refrek aja.

Rute yang aku rancang sebelumnya, dari Kandangan harusnya menuju Ngoro. Tapi karena harus mengantar si Wamir dulu ke Nganjuk, aku ikut aja rute yang dia pilih. Dari Kandangan menuju Pare aku masih tau jalannya, tapi selepas itu aku sudah tidak mengenali lagi. Lewat jalanan kecil, bahkan sampai nyebrang sungai besar (Brantas?), yang jembatannya cuma berupa 2 gedek (anyaman bambu), yang di tengahnya dikaitkan pada sebuah perahu. Jembatan yang kreatif dan tidak stabil.

Rupanya rute itu sangat singkat. Beberapa saat setelah nyebrang sungai tadi, kita sudah masuk daerah Nganjuk. Kalo gak salah nama daerahnya Ronggot.

Sampai daerah situ, Yuyun memisahkan diri menuju Kediri. Aku sama Wimar meneruskan jalan menuju kota Nganjuk.

Jam setengah 7 kita sudah sampai rumahnya Wimar. Jadi Malang Nganjuk ditempuh cuma dalam 2 jam lebih sedikit. Padahal seharusnya 3 jam lebih.

Setelah istirahat sebentar dan ngobrol dengan bapak ibunya Wimar, aku diantar Wimar sampai perempatan lampu merah terakhir menuju Madiun. Heran, Nganjuk rupanya lebih maju ketimbang Demak, hihihi.

Sebelum sampai di luar kota Nganjuk, ada kecelakaan sepeda motor, yang nampaknya baru saja terjadi. Ketika aku melewatinya, orang yang tabrakan masih tergeletak (pingsan?), motornya berantakan, dan seorang wanita (istrinya?) nangis di sebelahnya.

Sekilas aku lihat ada darah mengalir dari dalam helm si pria itu.

Aku tidak berencana untuk berhenti dan ikut menolong, karena sudah cukup banyak orang yang berhamburan datang ke situ. Juga aku lihat dari kejauhan ada polisi yang sedang jaga.

Mentalitas masyarakat kita, suka berhenti (atau jalan melambat) untuk sekedar melihat orang yang sedang kecelakaan. Padahal tidak ada yang diperbuatnya, malah justru menghambat arus lalu lintas pengguna jalan yang lain.

Beberapa saat kemudian aku sudah melewati alas (hutan) Caruban, yang di antara para sopir, terkenal sebagai hutan angker. Tapi bukan angker oleh demit atau sebangsanya, melainkan oleh polisi.

Jalanan yang lurus panjang, belokannya tidak begitu banyak dan tidak terlalu menikung, hanya beberapa kali saja naik turun. Polisi memasang garis putih bersambung di tengah jalan, tanda kendaraan tidak boleh melewatinya.
Tapi kadang ada saja sopir yang tergoda untuk melewatinya, misalnya untuk menyalip kendaraan lain. Dan setibanya di pinggiran kota Caruban, siap-siap saja dicegat sama bapak polisi. Aku sudah pernah kena kok ^_^

Di sepanjang jalan alas Caruban juga ada hal yang berbeda. Kanan kiri jalan banyak sekali penjual es kelamud (kelapa muda / degan ijo). Entah apa hubungannya antara mudik dan kelapa muda.

Dari Caruban lalu menuju Ngawi, dan kemudian sampai di Sragen, Jawa Tengah sekitar jam setengah 10. Jadi Nganjuk Sragen sekitar 2 jam setengah.

Sragen

Perjalanan panjang ternyata membuat kecepatan 100 kph tidak begitu terasa. Padahal biasanya sampai kecepatan 80 kph saja aku sudah miris.

Rute berikutnya aku mengalami kebingungan. Memang dulu aku pernah nyopir dari Sragen menuju Purwodadi, tapi saat itu malam hari, dan ada guidenya. Yang aku tau, dari Sragen harusnya menuju utara. Karena aku tidak tau dari mana harus belok ke utara, maka ketika melewati perempatan besar, dan pada pelang jalan ada tulisan Purwodadi menunjuk ke arah utara, aku ambil jalan itu.

Perjalanan yang dulu aku lewati memang melewati jalan perbukitan, dan kali ini juga seperti itu. Tapi nampaknya ada yang beda, karena jalannya lebih curam.

Sepanjang jalan perbukitan itu mirip sirkuit MotoGP di Laguna Secca. Jalanan naik turun, dan dalam saat yang sama juga belok kiri dan kanan. Benar-benar mirip jalan di sirkuit, karena tidak ada rambu-rambu dan juga pembatas jalan.

Bedanya, jalan di perbukitan ini, kalau kita ndelosor, maka jatuhnya ke dalam jurang.

Keluar dari wilayah perbukitan, aku masuk ke kabupaten Grobogan, yang aku tidak tau di mana tepatnya itu, karena seingatku dulu aku tidak melewatinya. Dulu begitu keluar dari bukit langsung masuk Purwodadi.

Yeah, berbekal bakat sok tau, dan beberapa kali nanya ke orang di pinggir jalan, maka setelah melewati jalanan panas, panjang dan rusak, akhirnya aku sampai di kota Purwodadi. Rupanya aku terlalu cepat mengambil arah ke utara dari Sragen tadi, sehingga aku tembus ke daerah timur Purwodadi.

Sampai di Purwodadi aku sudah mengenali medan, dan jam 12 lebih 5 menit aku sudah memasuki jalanan off-road menuju desaku.

Alhamdulillah, aku diberi keselamatan dan perlindungan sepanjang perjalanan mudik ini.

Filed in

9 Comments

PERTAMAAAAAAAAAAx :d

masio ngebut 100kph, awakmu ga bakal iso ngalahno the doctor Jo *ngguyu ngenyek*

waduh, mudik sepedaan, muleh2 iki pasti langsung pijet pantat ;))

halah...skrinsutnya kok cuma Sragen? lah skrinsut perjalanan/pemudiknya mana?? :p

Hati hati aja ;)

biker kok ngga biker

#rita:
Salah Rit, sing bener, mijeti nggae pantat.
*rusuh*

#engkoh:
Gak sempat Koh. Itu aja berhenti sekali di Sragen, buat lihat rute. Selain itu ya jalan terus.

#jauhari:
Injih pak.
Angpao-nipun dereng loh pak.

#aik:
Biker gimana maksudmu?
Apa menurutmu aku kayak anggota GATS yang gak naik Tiger, tapi malah naik sedan?
*kaburr*

Naik seperda motor pada saat menjelang hari raya ataupun saat hari raya benar-benar medeni.

Akeh wong ngawur!!

Aryo: Mangkanya, ikut pelatihan safety riding. Tukar bebekmu dengan Tiger, dan join dengan NeoGATS!

dilihat dari potonya kok sepi ya?? padahal kan suasana mudik??

Aryo: Mungkin jam segitu para pemudik belum nyampe Sragen. Kebanyakan pemudik yang dari arah timur berasal dari Surabaya, yang sudah aku lewati di daerah Caruban dan Ngawi

Terutana karena jalanan yang mirip huruf S, kadang-kadang huruf Z, atau kadang juga mirip angka 8 >>

wah ngawur iki...klo mirip angka 8 kapan nyampe nya ???

aku pengen muleh neng sragen tp ora dwit